Oleh Ani Ni’matul Khusna
Sepoi-sepoi angin malam lewat jendela kamar sederhana gaya feminis menemani kebisuan Adera Putri Hadi Kusumo, gadis manis 20 tahun dengan garis muka yang begitu lembut tapi sebenarnya periang dan mata yang meneduhkan sebenarnya menyimpan banyak makna. Kebisuannya mengantarnya pada kenangan masa lalu yang selalu membuat daun-daun harapan masa depannya yang mulai menguning berguguran helai demi helai. Musim gugur yang hanya melanda hati dan pikirannya juga menjadi pengantar rintik gerimis di musim berikutnya. Hendra Nugroho Kusumo, sosok pria yang terlukis pada kanvas masa depannya juga terlukis dengan jelas pada pohon silsilah keluarganya.
“Aku, kamu, bahkan masa lalu tak mungkin mampu berputar kembali untuk mengubah takdir bahwa kita adalah saudara sepupu. Ibuku adalah adik dari Ibumu. Apa yang mampu kita elakkan dengan kehendak dzat yang menciptakan kita itu ?” emosi Dera meluap merasakan sesak dalam dada seolah ada gunung yang menindih dadanya.
Tak banyak kalimat yang dapat keluar dari bibir mungilnya untuk menerangkan pikiran Hendra yang menurutnya telah tertutup oleh cinta terlarang tersebut. Sebuah kalimat penolakan yang keluar bersamaan dengan hati yang berkata sebaliknya telah melumpuhkan hati Hendra tanpa Dera sadari. Ya, hati Dera berkata sebaliknya. Ia sebenarnya juga merasakan luapan bunga-bunga tumbuh dari dalam hati kecilnya dan mengudara pada saat itu juga. Ia merasakan gejolak yang sama dengan pria gagah dan berbadan tegak yang mungkin menjadi idaman para wanita, hanya saja mungkin dia lebih hitam dari standar hitam untuk laki-laki. Oleh karenanya, sebenarnya ia bahagia dengan kejujuran Hendra. Namun, perasaan dalam hatinya yang ternyata sama dengan pria yang hanya terpaut satu tahun dengannya itu justru menjadi latar belakang dia mempertanyakan tentang apa yang seharusnya mereka lakukan.
“Lalu, boleh aku bertanya kembali padamu ? apakah cinta terbatas oleh hubungan darah ?” Hendra bertanya dengan tenang pada Dera, sang pujaan hati yang juga adik sepupu yang begitu dekat dengannya semenjak mereka kecil. Meski sebenarnya dalam hatinya begitu bergejolak untuk memprotes aturan cinta yang dikaitkan dengan hubungan darah. Baginya, cinta tak mengenal darah.
***
Angin bertiup semakin kencang menyeret dedaunan kering untuk meninggalkan ranting tua yang menyedihkan. Seirama dengan kegalauan hati Adera saat mengingat bahwa kalimat terakhir Hendra tersebut tak mampu lagi ia bantah. Karena diam-diam, ia juga setuju dengan protes lelaki impiannya itu. Kencangnya angin bertiup, semakin lama juga membawa tetes-tetes air hujan yang senada dengan air mata kesedihan yang mengalir dari mata bening nan indah Adera yang begitu disukainya sejak kebersamaan mereka saat masa kanak-kanak. Mereka memang telah begitu dekat seperti saudara kandung semenjak kecil. Meski sebenarnya mereka baru bertemu saat Adera berumur 9 tahun karena Hendra yang lahir di Jambi kemudian baru transmigrasi ke Jawa saat usia 10 tahun. Mereka tak membutuhkan banyak waktu untuk mengakrabkan diri. Hendra masuk kelas 4 SD sekelas dengan Adera. Hingga di bangku SMP mereka bersama, kemanapun.
Teman sekampung dan sepermainan mereka melihat kedekatan mereka sebagai hal yang wajar. Namun, tidak dengan teman yang tidak tahu hubungan keluarga mereka. Mereka akan berasumsi bahwa Adera dan Hendra merupakan pasangan yang serasi. Mereka seperti dua cucu Adam dan Hawa yang memiliki hubungan istimewa yang lebih dari teman juga tidak bisa disebut saudara.
“Der, benarkah kamu suka sama Hendra ?” tanya Citra, salah seorang teman sekelas Dera saat SMP.
“Hen, kamu ada apa dengan Adera ?” tanya Sidiq, teman sekelas Hendra saat mereka duduk di bangku SMP bersama tepatnya saat jam istirahat di kantin sekolah.
Berbagai pertanyaan serupa mereka terima dari teman sekolah. Hingga di bangku SMA mereka masih bersama, hanya berbeda kelas minatnya. Dera memilih IPA karena itulah bakatnya, ia agak lemah untuk hafalan dan Hendra IPS, meski sebenarnya ia juga dapat memilih IPA agar bersama dengan Dera. Namun, ia masih berpikir untuk mewujudkan keinginannya mengembangkan kemampuannya yang masih lemah itu. Mereka memang memiliki pemikiran yang berlawanan untuk masalah ini. Bagi Dera, sebaiknya mengembangkan kemampuan yang telah kita miliki. Sedangkan Hendra lebih berpikir menambah ilmu yang dia miliki.
Akan tetapi, keluar dari permasalahan prinsip mereka. Pada masa SMA inilah kedekatan mereka agak berkurang karena kesibukan masing-masing. Entah urusan akademik yang memang sudah berbeda jalur atau bahkan masalah organisasi. Mereka mengikuti organisasi dan ekskul yang berbeda. Dera Pramuka dan PMR, Hendra OSIS dan Rohis. Mereka tak pernah punya waktu khusus untuk bersama. Itu karena mereka sama-sama memiliki rencana untuk menghilangkan perasaan masing-masing. Mereka merasa saling nyaman sudah lebih dari yang seharusnya. Mereka merasakan hal yang sama tanpa tahu satu sama lain. Mereka saling memendam dan saling berusaha menghilangkannya. Namun, ternyata tanpa mereka sadari usaha mereka gagal total, nihil. Keduanya memasuki bangku perkuliahan yang sama tanpa mereka ketahui.
“Apakah ini yang namanya jodoh ?” Begitu pikir mereka.
Karenanya Hendra merasa harus mengikuti apa yang dia rasakan. Kemudian mencoba mengungkapkannya pada Dera. Tetapi, Dera tidak berpikir demikian. Ia tak mau mencoreng nama Ibu tercintanya yang sudah di alam kubur dengan merusak hubungan keluarga besar Hadi Kusumo.
***
Sedang asyik bersua dengan nasib cintanya, suara seseorang mengetuk pintu kamarnya membangunkannya dari lamunan. Kakak satu-satunya Dera, Anastasya Hadi Kusumo berniat memberitahu Adera mengenai acara keluarga besar Hadi Kusumo, kakeknya dari sang Ibu dimana Hendra juga termasuk ke dalamnya. Keluarga besarnya memang mempunyai jadwal kumpul bersama setiap 3 bulan sekali pada hari jum’at dan kali ini akan dilaksanakan seminggu lagi tepatnya pada hari jum’at depan.
“Der, kamu sudah tahu info tentang acara keluarga besar kita ?” tanya Tasya to the point begitu dia diizinkan masuk oleh adiknya yang terpaut 5 tahun dengannya.
“Belum mba, memang kapan ?” tanya Adera singkat. Karena memang suasana hatinya membuat lidahnya kelu jika harus berbicara terlalu banyak seperti biasanya.
“Minggu depan Der, jum’at sore di rumah tante Dian. Kamu sedang kenapa de ? ada masalah ?” jawab Tasya seadanya dan justru langsung menanyakan kondisi adiknya yang berbeda dari yang dia kenal.
Memang pernah beberapa kali Dera mengalami kondisi seperti itu, contohnya ketika dia menstruasi. Paling parah, ketika dia ada masalah dengan Ayah Ibu atau temannya yang terbilang dekat. Oleh karena itu, Tasya berpikiran pasti Dera punya masalah dengan seseorang yang juga pasti bukan Ayah ataupun Ibu. Karena Ayah dan Ibu terlihat baik-baik saja dengannya. Jika menstruasi pun tidak, pikirnya.
“Akan tetapi, kira-kira siapa yang membuat masalah dengannya atau mungkin dibuat masalah olehnya. Karena memang terkadang adiknya yang cuek dengan perasaan orang lain bisa membuatnya bermasalah dengan orang tersebut.” Gumamnya dalam hati.
Tasya mulai khawatir dengan adiknya. Namun, berulang kali Tasya bertanya Dera tetap tak mau jujur dengan saudara dan teman terdekatnya itu. Mungkin memang Dera butuh waktu sendiri, batin Tasya. Ia pun membiarkan Dera menikmati dan memahami masalahnya terlebih dahulu. Dan kemudian pergi dengan menutup pintu kamar pelan-pelan. Saat itu, baru pukul 9 malam. Tapi, Tasya melihat Dera seperti sudah tak mampu menahan kantuk. Padahal, sebenarnya justru Dera merasa tidak akan tidur malam ini. Dera memang harus dibiarkan dulu baru mau bercerita pada Tasya tentang segalanya tanpa mau menutupi apapun dari kakak yang sudah menjadi pengganti Ibu kandungnya itu. Ya, Adera memang tidak begitu dekat dengan Ibu tirinya. Ia lebih nyaman bercerita dengan kakak satu-satunya itu. Bahkan dengan Ayahnya pun sangat terbatas.
***
Jum’at pagi memamerkan sang surya dengan bangganya. Fajar telah tersusul oleh mentari yang begitu bersemangat. Dibukanya jendela kamar Dera oleh si kakak yang bekerja mati-matian untuk kuliah adiknya itu. Dilihatnya bunga lili yang masih kuncup sedang berusaha memekarkan diri membuka kelopaknya untuk menyampaikan salam pagi dari sang Tuhan. Tasya memang sosok kakak yang sangat mencintai adiknya, terlebih lagi semenjak Ibu yang paling mereka cintai menghembuskan nafas terakhirnya. Sinar mentari menelusup melewati jendela yang baru saja dibuka dan menabrak wajah kucel Dera. Ia pun mulai merasa silau dan memicingkan matanya untuk mencoba melihat siapa yang berani mengizinkan sinar mentari sialan itu masuk ke dalam kamarnya.
“Dera bangunn,,, sudah jam 6 pagi. Mau sampai kapan kamu bergulat di dalam kamar dan melupakan kakakmu ini ? Ayolah kita keluar mencari udara segar dan kalau ada pemandangan segar yang lain mungkin bisa untuk mengobati kesendirian kakakmu ini, hehehe” canda Tasya untuk membangkitkan semangat adiknya yang sudah hampir seminggu ini hilang karena masalah yang masih belum juga diketahui oleh Tasya itu. Sedikit berhasil karena Dera sudi untuk memamerkan jajaran giginya yang rapi namun masih agak kuning karena belum gosok gigi pagi itu.
Udara segar yang telah lama hilang dari paru-paru Dera itu akhirnya dapat ia hirup kembali di jum’at pagi itu. Setidaknya ia dapat bernafas lebih lega daripada malam itu. Meski sampai detik itu ia belum juga menemukan solusi yang tepat untuk nasib kisah percintaan terlarangnya itu.
“Mungkin dengan bercerita pada kakak dan sekaligus Ibunya itu, perasaannya akan jauh lebih baik.” Pikirnya dalam hati.
Ia pun menceritakan semuanya pada Tasya. Tak banyak yang dapat Tasya sarankan atas masalah adiknya itu. Meskipun baginya, masalah ini tetap rumit untuk dipecahkan. Tapi, ia hanya mampu menasehati Dera untuk sholat Istikhoroh. Karena cinta yang sejati adalah suci. Tak mungkin Allah memberikan cinta yang akan merusak cinta yang lainnya. Mendengarnya, Dera hanya mampu berterimakasih pada kakaknya melalui sebuah pelukan yang paling erat untuk membayar rasa lega dan tenang yang ia dapatkan.
***
Sang mentari pun mulai naik dan memamerkan senyumnya lebih lebar lagi. Namun, di saat yang sama Dera merasakan tiupan angin begitu kencang menerpa tubuh kecilnya yang sedang berada di teras rumah untuk menengok kondisi bunga-bunga di tamannya. Tiba-tiba, ia merasa hujan deras akan turun. Padahal, pukul 3 sore nanti ia dan keluarga harus menghadiri acara keluarga besarnya di rumah tante Dian. Untuk itu, Dera berrencana untuk datang ke rumah tante Dian lebih awal agar tidak kehujanan dan sekaligus bisa turut membantu persiapan acara. Ia dan Tasya pun berangkat pada pukul 1 siang setelah sebelumnya berpamitan pada Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu mungkin akan berangkat dengan mobil sesaat sebelum acara dimulai.
Sesampainya di rumah tante Dian yang bisa ditempuh kurang lebih 45 menit dengan sepeda motor, mereka pun membantu sedikit-sedikit seperti memotong buah dan menyiapkan minuman. Tidak begitu mewah memang, tapi dapat diperkirakan cukup meriah jika banyak anggota keluarga yang hadir. Keluarga besar ini memang tak begitu mementingkan kemewahan, mereka lebih mengutamakan kebersamaan. Mereka menghendaki dengan adanya acara ini akan mempererat tali silaturrahmi dan saling mengenal antaranggota keluarga agar lebih paham satu sama lain. Agar keluarga besar ini menjadi seperti bangunan yang kokoh di tengah terpaan badai topan sekalipun.
***
Kemudian, setelah lebih dari 1 jam para anggota keluarga mulai banyak berdatangan dan saling bercengkerama termasuk Ayah dan Ibu Dera yang juga sudah tiba sejak pukul 3.15 tadi. Namun, sudah hampir pukul 4 Hendra belum kunjung datang. Tak ada yang tahu tentang keberadaanya sekarang. Menurut pak de fadli, Ayah Hendra, memang Hendra akan datang terlambat karena harus mengambil pesanannya di tempat temannya. Namun, ia tak menduga akan begitu terlambat seperti ini. Ia pun berusaha menghubungi Hendra. Akan tetapi nihil, tak ada hasil. Akhrinya, semua orang mulai mengkhawatirkan Hendra. Begitu pula Dera, ia sangat khawatir. Ia merasa inilah hujan deras yang dirasakannya tadi. Benar saja di tengah kepanikan keluarga Bani Kusumo, hujan deras pun menghampiri. Tetesan hujan duka turun dalam sekejap. Setiap tetesnya dirasakan seperti hantaman bambu runcing yang menghunjam dada mereka tepat di jantungnya.
Setelah beberapa lama, telepon genggam pakde fadli tiba-tiba berdering dan dari ujung telepon mengabarkan tentang keberadaan Hendra. Ternyata sedang berada di dalah satu rumah sakit di Purwokerto karena telah mengalami kecelakaan tunggal, motornya menabrak sebuah tiang listrik karena berusaha menghindari pejalan kaki yang sedang menyebrang. Suasana rumah tante Dian yang semula riuh ramai menjadi sunyi senyap oleh suasana haru yang mencekam. Mereka semua mengkhawatirkan kondisi Hendra, terutama kedua orangtuanya. Tak terkecuali Dera. Memorinya mulai memflashback kebersamaannya dengan cinta terlarangnya itu, sosok yang ia cintai dalam diam dan kekhawatiran, yang telah menyatakan perasaannya namun belum sempat mendengar jawaban jujur darinya. Tidak begitu jelas keterangan dari penelpon. Oleh karena itu, mereka bergegas menuju rumah sakit yang telah disebutkan.
Setibanya keluarga Bani Kusumo di rumah sakit tersebut, mereka mencari dokter yang menangani Hendra. Kemudian dokter tersebut menjelaskan kondisi Hendra yang mengalami luka di kepalanya karena benturan. Akhirnya, keluarga besar tersebut pun segera memasuki ruang rawat Hendra setelah mendapat izin. Bersama sang dokter, mereka tak sabar memastikan kondisi salah satu anggota keluarganya itu. Namun, demi keamanan, hanya beberapa yang diizinkan masuk ke dalam. Akhirnya diputuskan, pak de dan bu de fadli saja yang masuk sedang yang lain menunggu di luar. Setelah masuk, Dera dan yang lain yang mendengar jeritan dari bu de fadli. Mereka pun segera mengecek dan mendapati bu de fadli sudah dalam keadaan lemas dan pa de fadli serta dokter yang terlihat masih sangat terkejut. Akhrinya keterkejutan tersebut pun disusul oleh yang lain. Mereka mendapati Hendra tidak berada di ranjang yang seharusnya menjadi tempatnya dipasangi peralatan kesehatan. Entah, Hendra hilang atau menghilang.
SELESAI
Setengah Darah Bani Kusumo
Reviewed by Unknown
on
November 26, 2017
Rating:
No comments: