Yang Lain

Oleh Ani Ni’matul Khusna



Belum lagi kaki ini tepat selangkah menuju tempatnya berdiri. Sudah dapat kulihat lagi seorang wanita yang sebenarnya juga temanku, Iren sebutannya sedang mendekat menuju dirinya terlebih dulu. Yang membuatku merasa teriris adalah karena ini bukan yang pertama kali. Pemandangan ini mungkin sudah yang keempat. Fahmi, kekasihku begitu dekat dengan seorang wanita, bukan hanya terlihat dalam gunjingan-gunjingan teman-temanku namun juga tepat di depan mataku. Entah dia menyadari keberadaanku atau tidak. Tapi, jika dia benar dengan semua ungkapan cinta yang selalu ia agung-agungkan, kenapa bisa detik ini aku merasa itu semua hanya janji kosong?
Karena aku tak mungkin menghampirinya begitu saja tanpa ada usaha untuk menguji kepekaannya terhadap perasaanku, aku pun mencoba mencari pelampiasan dengan mengajak Rina bercakap sedikit tentang sesuatu yang sedang update di media sosial. Tak begitu menarik memang, tapi kucoba untuk membuatnya menarik dan tidak menimbulkan kecurigaan yang berarti pada Rina. Bibirku pun saling bertabrakan atas dan bawah yang sesekali mungkin memuncratkan sedikit hujan lokal yang tidak  begitu ketara oleh Rina karena begitu sedikitnya. Namun tak sejalan dengan mataku yang tak bisa berdusta. Terus saja memicing setiap mataku berhasil memotret interaksi Fahmi dengan Iren.

Tak tahan juga lama-lama. Aku pun mengajak Rina pergi dengan alasan mencari makan, karena sebenarnya aku memang belum sarapan dari kos. Akhirnya, kita memilih warung Bu Surti, warung makan kecil depan kampus 20 m ke utara. Tempat ini selalu menjadi pilihan mahasiswa yang sedang mengatur keuangannya di akhir bulan begini, tak terkecuali aku. Jika tidak dalam akhir bulan, mungkin aku akan memilih Andien Resto untuk sekadar makan mie kari special favoritku.

            “Kenapa ga sama Fahmi? Lagi marahan yaa?” tanya Rina dengan ledekan.

***

Tak berselang lama aku menunggu di depan kos, Fahmi pun muncul dengan motor gedenya. Ya, siang ini kondisinya lebih tenang dari kemarin. Tadi malam, Fahmi telah menjelaskan semuanya dan juga bersusah payah menenangkanku. Meski memang butuh perjuangan, namun akhirnya dia berhasil. Aku menyerah, karena aku merasa sesi pengujian ini sudah cukup. Aku pun kembali percaya dengannya, namun aku tak bisa menjamin akan berapa lama bertahan. Bagiku, dirundung dengan berbagai janji dan rayuan memang sudah takdir wanita. Dan, dirundung kecemburuan dan kecurigaan juga sudah nasib laki-laki.

            “Hari ini, bisa janji ga, buat ga ngambek lagi?” ledek Fahmi ketika perjalanan ke kampus.

            “Hari ini, bisa janji ga, buat ga gatel lagi?” tanyaku menjawab tanyanya.
Putus-nyambung, marahan-baikan, memang sudah biasa dalam hubungan kami yang beranjak satu tahun sejak aku masuk semester 3. Hubungan yang mendapat rekor terlama dalam sejarah hubunganku dengan seorang lelaki. Segala gonjang ganjing cobaan selalu untuk kita coba hadapi bersama. Meski tak jarang masalah itu berujung pada sebuah pengelakan. Beberapa masalah hanya mengendap di relung memori yang terdalam dan selalu coba untuk kita kubur dalam-dalam.

Hingga pada suatu saat, masalah-masalah yang kita abaikan dan kita biarkan terkubur tiba-tiba hidup kembali dalam kematiannya yang fana. Sikapnya yang menurutku begitu supel dengan perempuan-perempuan di kampus, kembali mengundang tanya. Fita, mahasiswi satu angkatannya yang menjadi terdakwa kali ini. Aku mengenalnya juga, karena kita ada dalam satu organisasi yang sama. Dia seniorku kala aku menjadi member baru. Namun, aku mengenalnya dengan baik sebagai senior yang ramah dan berwawasan luas. Entah dari mana mereka saling mengenal. Yang kutahu, mereka mulai dekat seminggu ini. Aku mulai memperhatikan gerak-gerik mereka sejak kulihat mereka berboncengan ke suatu tempat.

Saat itu, aku mengikuti mereka, dan ku ketahui mereka biasa ke tempat tersebut. Aku tahu dari keterangan si pelayan rumah makan tersebut. Sebenarnya, waktu yang Fahmi luangkan untuk Fita tak pernah mengganggu waktunya untukku. Dia memang memiliki kemampuan manajemen yang baik, manager adalah cita-citanya. Namun, tak dapat dibohongi betapa kecewanya aku saat itu. Dia rela meninggalkan kegiatan rutinnya untuk meluangkan waktu bagi perempuan sialan itu, tanpa sepengetahuanku. Darah ini terasa memuncak hingga ke ubun-ubun untuk mengungkapkan kemarahan yang tertahankan. Sampai saat ini, aku juga masih bersikap seperti biasa pada Fahmi. Aku masih berharap ada rasa tak tega ketika dia menyembunyikan kedekatannya dengan wanita lain di belakangku.

            “Kamu ga punya keinginan buat cerita sesuatu ke aku?” aku pernah mencoba memancingnya namun berujung pada kebuntuan. Dia sama sekali tidak memberikanrespon yang sesuai.

***

Karena hari ini aku dan Fahmi tidak ada janji bertemu, setelah mengawasi kebersamaan mereka di tempat biasa itu aku pun berniat mengajak Rina hangouts sebentar untuk sekedar melepas rasa sakit ini. Memang hampir setiap hari mereka bertemu, dan aku pun tak pernah absen untuk mengintainya. Setelah kurang lebih satu bulan aku menyaksikan kedekatan mereka, aku pun seperti merasa telah sampai pada ujung kesabaran. Aku pun memilih menyegarkan hati dan pikiran sejenak bersama Rina. Kebetulan hari ini langit sedang bergembira, sangat tak senada dengan hatiku. Tapi, Rina selalu kupilih untuk menjadi perantara dalam mentransferkan semangat langit pada hatiku.

            “Kamu lagi free ga? Temenin ke supermall mau ga?” pesan pendek itu segera kukirim ke kontak Rina.

Kebetulan yang tak kusengaja. Saat aku berjalan dengan sepeda motorku menuju kos Rina untuk menjemputnya, aku melihat sepedamotor Fahmi sedang melaju di depanku hanya berjarak satu motor. Pikiranku tiba-tiba mengirim radar pada perasaanku tentang sesuatu yang buruk. Bukan karena khawatir Fahmi mengetahui keberadaanku. Aku lebih cemas karena dia melaju bukan ke jalur rumahnya. Tak berpikir lama, di pertigaan yang harusnya aku belok kiri untuk sampai ke kos Rina, aku justru tetap lurus untuk mengikuti laju motor gede Fahmi. Sebenarnya, jika dipikir kembali tindakanku mencurigai Fahmi dengan mengikutinya sangat tak beralasan. Namun, segala sistem pada tubuh ini mengarahkanku begitu saja untuk berlaku demikian.

Setelah sekitar 20 menit aku membuntutinya, Fahmi pun menarik rem tangan motornya dan berhenti di depan kos putra. Aku sedikit tenang karena itu bukan kos putri yang akan berarti malapetaka untuk hubungan kita. Setelah aku mematikan mesin motorku, aku pun menarik nafas panjang dan menghembuskannnya perlahan sembari menutup mata, berusaha menikmati rasa lega yang kudapat bahwa kecurigaanku benar-benar tak beralasan. Aku benar-benar sedang mengapung di air yang tenang saat itu juga. Langit seperti juga mendukung perubahan suasana hatiku yang lebih cerah. Desiran angin pun tak lupa ikut mengiringi.

Namun, saat kubuka mataku sesaat sebelum nafas ini benar-benar sempurna terhembuskan seluruhnya, kornea mataku tiba-tiba membentuk bayangan yang tak terduga dan sangat tak kusangka. Entah apa maksud dari bayangan yang berhasil dibentuk oleh korneaku ini. Aku pun terburu untuk menuntaskan nafasku yang kuhembuskan. Selanjutnya, aku hanya mampu mengucek-ngucek mataku untuk meyakinkan bahwa pemandangan itu bukan fatamorgana. Itu bukan tipuan pandangan ataupun kesalahan kornea mataku. Itu nyata, secara nyata aku melihat dari jendela kos teman Fahmi yang memang berukuran agak lebar dan sedang tak ditutup dengan gorden itu. Aku melihat penampakan yang sangat mengejutkan sekaligus tragis bagiku. Dari depan kos tersebut, sekitar 10 m aku melihat Fahmi berpelukan dan berciuman dengan mesranya dengan teman laki-lakinya itu.

            “Itu kan, Aldo yang biasa sama Fahmi di Jurnalistik.” Gumamku dalam bingung.

Aldo adalah teman Fahmi dalam satu komunitas yaitu, Jurnalistik dimana Fahmi sebagai Ketua Umumnya. Aku juga pernah mendengar ceritanya dari Fahmi bahwa Aldo juga menjadi sekretaris Fahmi. Aku sering melihatnya dalam setiap acara Jurnalistik. Meskipun kadang juga terlihat bersama di luar Jurnalistik, aku juga tetap tak pernah menaruh curiga atau merasa aneh dengan kedekatan mereka.

Seketika aku merasa ada petir hebat di atas langit yang tersenyum dengan cerahnya. Kilatan cahayanya seperti telah menyulutkan api duka lara yang membentur hati dan pikiranku kala itu. Aku merasa menjadi seonggok mayat hidup yang telah dimakan belatung namun masih mampu melihat kenyataan ini. Kenyataan yang masih begitu sulit untuk aku terima kebenarannya. Dia, Aldo, mereka dan adegan tragis itu.

Mereka masuk ke dalam seperti sepasang suami istri yang sedang menikmati bulan madunya sebelum kemudian dihampiri takdir seorang bayi. Namun, aku yakin tidak akan ada bayi. Aku yakin mereka bukan sepasang suami istri. Namun, jika bukan itu, aku harus menyebut mereka apa? Aku bertanya dalam kesesatan. Aku tersesat dalam diriku sendiri. Aku bingung dengan diriku sendiri. Apa yang telah kulakukan selama ini, apa yang telah kurasakan selama ini, dan kecurigaan tak berguna seperti apa yang kutuduhkan padanya selama ini? Semua terasa hanya mimpi yang telah kualami dalam dunia nyata ini. Aku seperti berada dalam sebuah permainan Tuhan yang tak pernah kutahu skenarionya.

***

Aku segera pergi dengan motor matic-ku. Jarum kilometer di spidometer menunjuk angka 60. Putaran demi putaran roda mengantarku menuju tempat dimana aku biasa bertemu dengannya, pujaan hatiku saat ini. Pelipur laraku dari sakit yang dulu, oleh ulah Fahmi. Bahkan untuk menyebut namanya, bibir ini terasa kaku. Sama seperti hati yang telah kaku untuk mencintanya, untuk mencintai seorang lelaki. Semua lelaki seperti binatang biadab bagiku.

Begitu tiba di taman biasa kita bertemu, aku buru-buru memarkirkan motorku di tempat yang agak teduh. Sangking buru-burunya, aku hampir saja jatuh tersandung kaki sendiri. Aku merasa yakin, kalau dia sudah terlalu lama menungguku. Aku berjalan seperti dikejar anjing sembari tersenyum-senyum membayangkan saat-saat yang telah kami habiskan selama beberapa minggu ini. Meski baru beberapa minggu, aku merasahati ini telah terpatri dengan hatinya. Aku dapat merasakan nyaman yang tak mungkin kudapat dari semua laki-laki di dunia ini.

            “Silvi, disini.” Rina memanggilku untuk menunjukkan keberadaannya.

Dia terlihat telah menungguku begitu lama karena aku bisa melihat minuman yang dipesannya sudah tinggal ¼ gelas. Aku pun menengok padanya, dan tersenyum dengan lebarnya karena dapat melihat wajah damainya. Aku menghampirimya dengan langkah tenang yang bahagia. Rina, sahabat terbaikku, dan kekasih biruku.


***
Yang Lain Yang Lain Reviewed by Unknown on January 16, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.