Oleh Ani Ni’matul Khusna
Begitu tiba di taman biasa kita bertemu, aku buru-buru memarkirkan
motorku di tempat yang agak teduh. Sangking buru-burunya, aku hampir saja jatuh
tersandung kaki sendiri. Aku merasa yakin, kalau dia sudah terlalu lama
menungguku. Aku berjalan seperti dikejar anjing sembari tersenyum-senyum membayangkan
saat-saat yang telah kami habiskan selama beberapa minggu ini. Meski baru
beberapa minggu, aku merasahati ini telah terpatri dengan hatinya. Aku dapat
merasakan nyaman yang tak mungkin kudapat dari semua laki-laki di dunia ini.
Belum lagi kaki ini tepat selangkah menuju tempatnya berdiri. Sudah dapat
kulihat lagi seorang wanita yang sebenarnya juga temanku, Iren sebutannya
sedang mendekat menuju dirinya terlebih dulu. Yang membuatku merasa teriris
adalah karena ini bukan yang pertama kali. Pemandangan ini mungkin sudah yang
keempat. Fahmi, kekasihku begitu dekat dengan seorang wanita, bukan hanya
terlihat dalam gunjingan-gunjingan teman-temanku namun juga tepat di depan
mataku. Entah dia menyadari keberadaanku atau tidak. Tapi, jika dia benar
dengan semua ungkapan cinta yang selalu ia agung-agungkan, kenapa bisa detik
ini aku merasa itu semua hanya janji kosong?
Karena aku tak mungkin menghampirinya begitu saja tanpa ada usaha
untuk menguji kepekaannya terhadap perasaanku, aku pun mencoba mencari
pelampiasan dengan mengajak Rina bercakap sedikit tentang sesuatu yang sedang
update di media sosial. Tak begitu menarik memang, tapi kucoba untuk membuatnya
menarik dan tidak menimbulkan kecurigaan yang berarti pada Rina. Bibirku pun
saling bertabrakan atas dan bawah yang sesekali mungkin memuncratkan sedikit
hujan lokal yang tidak begitu ketara
oleh Rina karena begitu sedikitnya. Namun tak sejalan dengan mataku yang tak
bisa berdusta. Terus saja memicing setiap mataku berhasil memotret interaksi
Fahmi dengan Iren.
Tak tahan juga lama-lama. Aku pun mengajak Rina pergi dengan alasan
mencari makan, karena sebenarnya aku memang belum sarapan dari kos. Akhirnya,
kita memilih warung Bu Surti, warung makan kecil depan kampus 20 m ke utara.
Tempat ini selalu menjadi pilihan mahasiswa yang sedang mengatur keuangannya di
akhir bulan begini, tak terkecuali aku. Jika tidak dalam akhir bulan, mungkin
aku akan memilih Andien Resto untuk sekadar makan mie kari special favoritku.
“Kenapa ga sama
Fahmi? Lagi marahan yaa?” tanya Rina dengan ledekan.
***
Tak berselang lama aku menunggu di depan kos, Fahmi pun muncul
dengan motor gedenya. Ya, siang ini kondisinya lebih tenang dari kemarin. Tadi
malam, Fahmi telah menjelaskan semuanya dan juga bersusah payah menenangkanku.
Meski memang butuh perjuangan, namun akhirnya dia berhasil. Aku menyerah, karena
aku merasa sesi pengujian ini sudah cukup. Aku pun kembali percaya dengannya,
namun aku tak bisa menjamin akan berapa lama bertahan. Bagiku, dirundung dengan
berbagai janji dan rayuan memang sudah takdir wanita. Dan, dirundung
kecemburuan dan kecurigaan juga sudah nasib laki-laki.
“Hari ini, bisa
janji ga, buat ga ngambek lagi?” ledek Fahmi ketika perjalanan ke kampus.
“Hari ini, bisa
janji ga, buat ga gatel lagi?” tanyaku menjawab tanyanya.
Putus-nyambung, marahan-baikan, memang sudah biasa dalam hubungan
kami yang beranjak satu tahun sejak aku masuk semester 3. Hubungan yang
mendapat rekor terlama dalam sejarah hubunganku dengan seorang lelaki. Segala
gonjang ganjing cobaan selalu untuk kita coba hadapi bersama. Meski tak jarang
masalah itu berujung pada sebuah pengelakan. Beberapa masalah hanya mengendap
di relung memori yang terdalam dan selalu coba untuk kita kubur dalam-dalam.
Hingga pada suatu saat, masalah-masalah yang kita abaikan dan kita
biarkan terkubur tiba-tiba hidup kembali dalam kematiannya yang fana. Sikapnya
yang menurutku begitu supel dengan perempuan-perempuan di kampus, kembali
mengundang tanya. Fita, mahasiswi satu angkatannya yang menjadi terdakwa kali
ini. Aku mengenalnya juga, karena kita ada dalam satu organisasi yang sama. Dia
seniorku kala aku menjadi member baru. Namun, aku mengenalnya dengan baik
sebagai senior yang ramah dan berwawasan luas. Entah dari mana mereka saling
mengenal. Yang kutahu, mereka mulai dekat seminggu ini. Aku mulai memperhatikan
gerak-gerik mereka sejak kulihat mereka berboncengan ke suatu tempat.
Saat itu, aku mengikuti mereka, dan ku ketahui mereka biasa ke
tempat tersebut. Aku tahu dari keterangan si pelayan rumah makan tersebut.
Sebenarnya, waktu yang Fahmi luangkan untuk Fita tak pernah mengganggu waktunya
untukku. Dia memang memiliki kemampuan manajemen yang baik, manager adalah
cita-citanya. Namun, tak dapat dibohongi betapa kecewanya aku saat itu. Dia
rela meninggalkan kegiatan rutinnya untuk meluangkan waktu bagi perempuan
sialan itu, tanpa sepengetahuanku. Darah ini terasa memuncak hingga ke
ubun-ubun untuk mengungkapkan kemarahan yang tertahankan. Sampai saat ini, aku
juga masih bersikap seperti biasa pada Fahmi. Aku masih berharap ada rasa tak
tega ketika dia menyembunyikan kedekatannya dengan wanita lain di belakangku.
“Kamu ga punya
keinginan buat cerita sesuatu ke aku?” aku pernah mencoba memancingnya namun
berujung pada kebuntuan. Dia sama sekali tidak memberikanrespon yang sesuai.
***
Karena hari ini aku dan Fahmi tidak ada janji bertemu, setelah
mengawasi kebersamaan mereka di tempat biasa itu aku pun berniat mengajak Rina hangouts
sebentar untuk sekedar melepas rasa sakit ini. Memang hampir setiap hari
mereka bertemu, dan aku pun tak pernah absen untuk mengintainya. Setelah kurang
lebih satu bulan aku menyaksikan kedekatan mereka, aku pun seperti merasa telah
sampai pada ujung kesabaran. Aku pun memilih menyegarkan hati dan pikiran
sejenak bersama Rina. Kebetulan hari ini langit sedang bergembira, sangat tak
senada dengan hatiku. Tapi, Rina selalu kupilih untuk menjadi perantara dalam
mentransferkan semangat langit pada hatiku.
“Kamu lagi free
ga? Temenin ke supermall mau ga?” pesan pendek itu segera kukirim ke
kontak Rina.
Kebetulan yang tak kusengaja. Saat aku berjalan dengan sepeda motorku
menuju kos Rina untuk menjemputnya, aku melihat sepedamotor Fahmi sedang melaju
di depanku hanya berjarak satu motor. Pikiranku tiba-tiba mengirim radar pada
perasaanku tentang sesuatu yang buruk. Bukan karena khawatir Fahmi mengetahui
keberadaanku. Aku lebih cemas karena dia melaju bukan ke jalur rumahnya. Tak
berpikir lama, di pertigaan yang harusnya aku belok kiri untuk sampai ke kos
Rina, aku justru tetap lurus untuk mengikuti laju motor gede Fahmi. Sebenarnya,
jika dipikir kembali tindakanku mencurigai Fahmi dengan mengikutinya sangat tak
beralasan. Namun, segala sistem pada tubuh ini mengarahkanku begitu saja untuk
berlaku demikian.
Setelah sekitar 20 menit aku membuntutinya, Fahmi pun menarik rem
tangan motornya dan berhenti di depan kos putra. Aku sedikit tenang karena itu
bukan kos putri yang akan berarti malapetaka untuk hubungan kita. Setelah aku
mematikan mesin motorku, aku pun menarik nafas panjang dan menghembuskannnya
perlahan sembari menutup mata, berusaha menikmati rasa lega yang kudapat bahwa
kecurigaanku benar-benar tak beralasan. Aku benar-benar sedang mengapung di air
yang tenang saat itu juga. Langit seperti juga mendukung perubahan suasana
hatiku yang lebih cerah. Desiran angin pun tak lupa ikut mengiringi.
Namun, saat kubuka mataku sesaat sebelum nafas ini benar-benar
sempurna terhembuskan seluruhnya, kornea mataku tiba-tiba membentuk bayangan
yang tak terduga dan sangat tak kusangka. Entah apa maksud dari bayangan yang
berhasil dibentuk oleh korneaku ini. Aku pun terburu untuk menuntaskan nafasku
yang kuhembuskan. Selanjutnya, aku hanya mampu mengucek-ngucek mataku untuk
meyakinkan bahwa pemandangan itu bukan fatamorgana. Itu bukan tipuan pandangan
ataupun kesalahan kornea mataku. Itu nyata, secara nyata aku melihat dari
jendela kos teman Fahmi yang memang berukuran agak lebar dan sedang tak ditutup
dengan gorden itu. Aku melihat penampakan yang sangat mengejutkan sekaligus
tragis bagiku. Dari depan kos tersebut, sekitar 10 m aku melihat Fahmi
berpelukan dan berciuman dengan mesranya dengan teman laki-lakinya itu.
“Itu kan, Aldo
yang biasa sama Fahmi di Jurnalistik.” Gumamku dalam bingung.
Aldo adalah teman Fahmi dalam satu komunitas yaitu, Jurnalistik
dimana Fahmi sebagai Ketua Umumnya. Aku juga pernah mendengar ceritanya dari
Fahmi bahwa Aldo juga menjadi sekretaris Fahmi. Aku sering melihatnya dalam
setiap acara Jurnalistik. Meskipun kadang juga terlihat bersama di luar
Jurnalistik, aku juga tetap tak pernah menaruh curiga atau merasa aneh dengan
kedekatan mereka.
Seketika aku merasa ada petir hebat di atas langit yang tersenyum
dengan cerahnya. Kilatan cahayanya seperti telah menyulutkan api duka lara yang
membentur hati dan pikiranku kala itu. Aku merasa menjadi seonggok mayat hidup
yang telah dimakan belatung namun masih mampu melihat kenyataan ini. Kenyataan
yang masih begitu sulit untuk aku terima kebenarannya. Dia, Aldo, mereka dan adegan
tragis itu.
Mereka masuk ke dalam seperti sepasang suami istri yang sedang
menikmati bulan madunya sebelum kemudian dihampiri takdir seorang bayi. Namun,
aku yakin tidak akan ada bayi. Aku yakin mereka bukan sepasang suami istri.
Namun, jika bukan itu, aku harus menyebut mereka apa? Aku bertanya dalam
kesesatan. Aku tersesat dalam diriku sendiri. Aku bingung dengan diriku
sendiri. Apa yang telah kulakukan selama ini, apa yang telah kurasakan selama
ini, dan kecurigaan tak berguna seperti apa yang kutuduhkan padanya selama ini?
Semua terasa hanya mimpi yang telah kualami dalam dunia nyata ini. Aku seperti
berada dalam sebuah permainan Tuhan yang tak pernah kutahu skenarionya.
***
Aku segera pergi dengan motor matic-ku.
Jarum kilometer di spidometer menunjuk angka 60. Putaran demi putaran roda
mengantarku menuju tempat dimana aku biasa bertemu dengannya, pujaan hatiku
saat ini. Pelipur laraku dari sakit yang dulu, oleh ulah Fahmi. Bahkan untuk
menyebut namanya, bibir ini terasa kaku. Sama seperti hati yang telah kaku
untuk mencintanya, untuk mencintai seorang lelaki. Semua lelaki seperti
binatang biadab bagiku.
“Silvi, disini.”
Rina memanggilku untuk menunjukkan keberadaannya.
Dia terlihat telah menungguku begitu lama karena aku bisa melihat
minuman yang dipesannya sudah tinggal ¼ gelas. Aku pun menengok padanya, dan
tersenyum dengan lebarnya karena dapat melihat wajah damainya. Aku
menghampirimya dengan langkah tenang yang bahagia. Rina, sahabat terbaikku, dan
kekasih biruku.
***
Yang Lain
Reviewed by Unknown
on
January 16, 2018
Rating:
No comments: