Bintang dalam Goresan

Oleh Ani Ni’matul Khusna


Langkah kaki ini mengantarku ke sebuah tempat yang pernah aku kunjungi beberapa bulan belakang. Aku mengunjunginya untuk keperluan acara dakwah kepada para penghuni tempat ini. Seperti seorang penyuluh agama yang memberikan pencerahan bagi para penghuni Rutan yang mayoritas buta akan pengetahuan akidah dan tauhid, apalagi persoalan hukum-hukum dalam Islam, aku berpidato di depan mereka diiringi rasa tegang karena aku berhadapan dengan para napi. Namun. kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri dapat kurasakan karena aku berhasil melakukannya dengan baik. Lantunan ayat suci al-Qur’an maupun sunnah Rasul keluar dari bibirku dan menggema di ruangan aula tempat itu yang terbilang cukup luas. Hampir setiap warga penghuni Rutan tersebut terhipnotis oleh kata-kataku.

Namun, kali ini aku mengunjungi tempat ini bukan untuk mendapat ucapan terimakasih atau permintaan untuk kembali memotivasi mereka untuk berubah lebih baik. Aku kemari untuk mengunjungi salah seorang warga Rutan yang baru terdaftar di sana kemarin. Seseorang yang aku kenal dengan baik sebagai laki-laki dengan profesi yang menjanjikan, dokter ahli bedah. Seseorang yang biasa aku saksikan dari jendela ruang operasi dengan gagahnya menjalankan kewajibannya menyelamatkan nyawa bukan hanya seorang. Kini, aku harus menyaksikannya mendekam di balik sel dengan seragam tahanan warna oranyenya. Aku pun meminta izin pada petugas penjaga untuk menemuinya beberapa menit.

Tak berselang lama aku menunggu di tempat besuk, dia datang menemuiku diantar seorang petugas yang kemudian meninggalkan kami setelah mengantarnya. Dia duduk di bangku kayu dengan model yang seadanya tepat di hadapanku. Beberapa menit terbuang dengan hanya saling tatap dalam diam. Bukan karena canggung atau rasa aneh karena kebiasaan yang aku lihat di rumah sakit tempatnya bekerja kini telah hilang dan berbalik menjadi pemandangan yang sangat menyedihkan di tempat ini. Melainkan segala emosi yang ingin segera membuncah karena semua kejadian yang sangat mengejutkan ini. Bukan hanya untukku, tapi terutama untuk orang tuanya yang mengenalnya dengan baik seumur hidupnya itu.

Tiga menit waktu tersisa coba aku manfaatkan dengan baik. Kemudian aku menenangkan perasaan beberapa detik dan berkata dengan emosi tertahan.

“Aku tak meminta apapun darimu sekarang. Jadi, aku harap kamu dengarkan saja baik-baik kata-kataku. Semua ini membuatku mengerti bahwa kamu ternyata adalah seorang aktor yang sangat handal. Selama ini, aku hanyalah pemeran yang melakukan segalanya tanpa tahu bahwa semua ini merupakan sandiwara yang di-skenariokan olehmu. Kamu tahu seperti apa rasanya bermain sandiwara dengan sepenuh hati, tapi kamu sama sekali tidak tahu bahwa ini hanyalah sebuah sandiwara yang tak berarti apa-apa. Kamu benar-benar luar biasa. Maksudku, kemampuan sandiwaramu.” Tak ada lagi yang mampu aku katakan karena emosi ini sudah hampir mengalahkanku dan hampir membuncah dengan liarnya. Aku berusaha menahan air mata yang memaksa untuk keluar. Aku pun memutuskan untuk segera pergi dan membiarkan dia tetap di tempatnya dengan posisi yang sama. Aku juga tak ingin mendengar apapun darinya.

Pixabay


Hari ini begitu cerah rasanya. Meski di beberapa tempat aku dapat melihat awan kelabu. Mungkin karena kondisi hatiku yang sedang baik. Tidak logis mungkin bagi orang yang di sekitarku. Karena kemarin aku baru saja memiliki mood yang buruk disebabkan oleh Mas El yang memarahiku hanya gara-gara aku tidak mendengarkannya. Mas El adalah ketua Jurnalistik di kampusku yang berbasis agama Islam ini. Makanya, Mas El selalu meminta kita berhati-hati dalam bertindak. Setiap tindakan yang akan kita lakukan harus sepengetahuannya dan harus sesuai dengan apa yang ia katakan.

Namun, sepulang dari kampus dengan hati yang masih kesal aku bertemu dengan Mas Zain. Ia bilang sedang ada jam kosong. Operasi berikutnya yang akan dia tangani adalah pukul tujuh malam nanti. Jadi, dia menyempatkan untuk menemuiku dan mengajak keluar. Tanpa basa basi, aku pun langsung mengikutinya. Sebab, aku tahu masa-masa seperti ini hampir sulit aku dapatkan dengan profesinya yang merupakan dokter ahli bedah di salah satu rumah sakit di Purwokerto dan aku yang memutuskan berpartisipasi aktif di organisasi kampus baik intra maupun ekstra terutama yang berkaitan dengan sosial. Terkadang, saat aku ada waktu luang, dia tidak, atau sebaliknya.

Hubungan kami memang bukan hubungan yang dapat dijelaskan. Namun, aku bisa menjamin ini bukan hubungan yang bisa dilarang atau hubungan yang tidak sehat. Karena Mas Zain sudah berencana menemui orang tuaku setelah aku wisuda nanti. Ia juga mampu meyakinkanku setiap saat aku ragu padanya karena banyaknya berita miring mengenai seorang laki-laki yang tak memberi status yang pasti pada wanita. Akan tetapi, sebenarnya  memang hal seperti itu yang aku harapkan. Aku tak ingin kita mengumumkan hubungan kita yang disebut pacaran atau semacamnya tapi tidak pernah ada cinta di antara kita, yang ada hanyalah nafsu semata. Jadi, aku pun menyetujuinya ketika Mas Zain mengungkapkan rasa sayangnya padaku tanpa menuntut status.

Pertemuan seperti ini memang bukan yang pertama kalinya. Kedekatan kami sudah berjalan lebih dari satu tahun. Sehingga mungkin ini sudah lebih dari tiga puluh enam kalinya. Karena setidaknya kami akan bertemu seperti ini tiga kali dalam sebulan. Ya, sebagai sebuah bilangan itu ukuran yang terbilang banyak. Itulah mengapa kedekatan kami juga merambah ke hubungan keluarga kami masing-masing. Sesekali aku mengunjungi keluarganya, begitu sebaliknya. Terdengar manis memang. Aku juga bisa merasakan kemanisan dalam hubungan kami. Begitu manis hingga setiap masalah itu seperti bukan masalah. Kami dapat menyelesaikannya hanya dengan sekali hempas.

***

Karena kemarin Mas Zain telah berhasil mengembalikan mood-ku hingga membuatku menarik pembatalan partisipasiku untuk acara sosialisasi anak jalanan, hari ini aku berencana memasak makanan kesukaannya untuk sarapan keluarganya. Kebetulan sekali pagi ini ia memberitahuku bahwa ia tidak ada jadwal operasi. Aku sendiri, karena ini akhir pekan, aku tidak ada jadwal kuliah. Kebetulan juga hari ini telah disepakati sebagai hari libur untuk istirahat dari kegiatan sosialisasi kemarin. Oleh karena itu, aku pun bangun pagi-pagi dan segera mempersiapkan bahan-bahan yang telah aku beli kemarin untuk disulap menjadi masakan kesukaan Mas Zain, telor ceplok sambal balado dan perkedel. Sebelumnya aku pernah memasak itu untuknya langsung di rumahnya atas saran dari Ibunya. Dan syukurlah, ternyata mereka menyukainya termasuk Mas Zain. Itu sebabnya kali ini aku memutuskan untuk melakukannya lagi dan semoga semuanya baik-baik saja seperti sebelumnya.

Setelah semuanya masak, aku pun segera mempersiapkan diriku untuk terlihat layak di depan ia dan keluarganya. Apa yang aku lakukan mungkin akan terkesan berpura-pura, tidak menjadi diri sendiri atau apalah. Tetapi, aku memang orang yang menentang kalimat bijak ini Don’t judge the book by the cover. Bagiku, penampilan luarmu adalah penting untuk mempengaruhi orang lain agar tertarik untuk mengetahui isi hatimu. Meski begitu, aku tak pernah berpikir bahwa Mas Zain menyanyangiku hanya dari penampilan luarku. Semuanya terjawab dengan semua perlakuannya padaku yang begitu istimewa.Aku lebih suka cinta karena sebuah alasan pasti daripada cinta apa adanya. Tidak ada orang yang mau betah mencintai orang yang jarang mandi dengan alasan inilah aku apa adanya. Itu hanya terjadi di drama-drama percintaan.

Sampai di rumahnya, tiba-tiba aku merasa sedikit tegang. Mungkin karena terakhir kali aku mengunjungi tempat ini sekitar satu bulan yang lalu. Biasanya hampir setiap minggu aku menyempatkan mengunjungi mereka setelah aku mengunjungi orang tuaku. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tuaku juga. Kebetulan aku selalu melewati rumahnya setiap aku akan kembali ke Purwokerto dari rumahku. Oleh karenanya, aku berusaha menenangkan diriku untuk beberapa menit di depan rumahnya. Apalagi, aku belum mengabari Mas Zain tentang rencanaku ini untuk kejutan.

Setelah lebih tenang, aku pun mengetuk pintu depan dan Ibu Mas Zain yang muncul dan membukakan pintu. Beliau langsung menyapaku dan memelukku sebagai bentuk selamat datang setelah sekian lama.

“Oh, Dinda Sayang... lama sekali kita tidak bertemu yah. Apa kabar kamu? Bagaimana dengan mama dan papa? Kemudian Dewa, dia juga tak pernah main kemari pasti karena kamu juga lama tidak kemari? Heh?” Caranya mengungkapkan kerinduannya denganku, Ayahku, Ibu dan Adikku, Dewa.

“Ibu, banyak sekali pertanyaanmu? Ibu bahkan menandingi aku saat bertugas sebagai wartawan. Hehehe. Iya, aku dan keluarga alhamdulillah baik-baik saja. Aku belum sempat ke sini karena setiap aku pulang ke rumah selalu terburu-buru oleh urusanku. Jadi, saat kembali ke Purwokerto aku tidak sempat mampir. Oleh karena itu, sekarang aku menyempatkan ke sini saat jadwalku tidak terlalu padat.”

“Ah, kamu itu sudah seperti wanita karir saja yang selalu sibuk dengan jadwal-jadwalnya. Hahaha. Ya sudah, ayo masuk.”

Aku pun segera masuk dan menyiapkan makanan yang kubawa untuk dinikmati oleh Ayah dan Ibu Mas Zain. Mas Zain memang anak semata wayang yang selalu diperhatikan tumbuh kembangnya bahkan sampai sedewasa ini.

Tapi, karena Mas Zain masih di ruang kerjanya, aku pun menghampirinya untuk mengajaknya makan bersama. Meski bukan seorang pengusaha dengan ruang kerja pribadi, dia memilikinya dengan alasan dia butuh tempat khusus untuk menemukan cara-cara baru dalam penanganan setiap jenis penyakit baru. Sambil membawa sebutir perkedel untuk dicicipinya dan untuk mendorongnya segera menuju meja makan, aku pun menuju ruangannya. Tak jauh dari ruangan itu, aku bisa mendengar dia sedang berbicara dengan seseorang. Karena aku tidak diberitahu bahwa dia ada tamu, aku yakin dia sedang berbicara lewat telepon. Namun, aku mendengar suaranya seperti orang yang sedang membicarakan hal yang sangat serius. Karena penasaran, aku pun sedikit mencuri-curi obrolannya.

Aku hanya mendapat segelintir kata dari obrolannya. Namun, kata-kata itu terdengar mencurigakan. Aku pun mencoba lebih dekat agar dapat mendengarnya lebih jelas. Dan aku benar-benar merasa seketika detak jantungku berhenti dan nafasku terasa sesak. Ada emosi yang tidak bisa dijelaskan di sana. Sebutir perkedel yang aku bawa dengan cawan kecil terjatuh karena saraf-saraf di tanganku seakan mati rasa dan tak mampu menahan cawan kecil itu. Suara itu membuat Mas Zain menghentikan percakapannya di telepon dan segera keluar ruangan untuk memastikan apa yang terjadi. Ia pun membuka pintunya dan aku dapat melihat dengan jelas wajah laki-laki yang sangat aku cintai dan sangat aku percaya yang telah mengatakan kalimat menjijikkan itu.

“Dua hari lagi aku akan mengirim ginjal yang kamu minta di tempat biasa. Setelah itu, aku memintamu mengirim bagianku secepatnya.” 

***
SELESAI
Bintang dalam Goresan Bintang dalam Goresan Reviewed by Unknown on January 16, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.