Oleh Ani Ni’matul Khusna
Ditemani
terangnya bulan yang sedang berjuang menuju purnamanya, Yusuf menghampiriku di
kantor putri Pondok Pesantren Nurul Hidayah yang terletak di pinggiran kota
Purwokerto.
WpNature |
“Assalamu’alaikum,
Bu.” Salamnya yang memang mewajibkan santri putra di sini memanggil santri
putri dengan sebutan ‘ibu’ dan sebaliknya, santri putri ke santri putra ‘bapak’.
“Wa’alaikumsalam,
Pak. Madosi sinten nggeh pak (mau
cari siapa ya, pak)?” Jawab mba Putri, salah satu pengurus putri bagian
keamanan.
“Mba Azizah enten (Mba Azizah ada)?”
jawaban Yusuf pun berhasil membuatku jadi bahan ledekan di kantor.
Aku
mendengar jawabannya pun langsung bergegas keluar menemuinya, sebelum warga
kantor semakin ramai meledekku. Dan seperti biasa, ia tiba-tiba menemuiku hanya
untuk memberikan es krim kesukaanku, dan jajanan lainnya. Kali ini alasannya,
sebagai tanda terimakasihnya karena minggu lalu aku sudah menggantikannya masuk
kelas Ibtidha (awal), kelas ngaji paling
dasar di ponpes ini. Aku pun hanya menjawab ‘nggeh (ya)’ dan menerimanya sembari mengucap terimakasih. Karena
terlalu gugup dan sedikit malu, aku pun bergegas masuk kembali. Namun Yusuf
mencoba mencegahku. Dan saat aku reflek menoleh, ia memberiku sepucuk surat
sembari dengan lirih mengungkapkan rindunya padaku. Kemudian secepat kilat ia
pamit meninggalkanku yang masih mematung, mencoba mencerna apa yang baru saja
ia katakan.
Melihatku
kembali, warga kantor pun bergegas menghampiriku dan menyerobot apa yang
kubawa. Mereka mulai meributkan tentang jajan dari siapa dan untuk apa. Hingga
setelah mereka mengetahui pengirim jajanan itu, mereka semakin ribut. Bukan
sekali dua kali memang, Yusuf melakukan ini. Namun, untuk ke sekian kalinya
mereka kembali mengingatkanku tentang kebenaran Yusuf dan kekasihnya di luar
pesantren ini. Dan untuk ke sekian kalinya pula, aku harus merasa kebahagiaanku
telah melukai yang lain. Saat itu pula aku kembali bertanya tentang maksud
Yusuf dan sikapnya padaku. Jawabannya pun selalu sama. Dia tak pernah mampu
untuk berani lebih dari sekedar menganggapku temannya. Lalu, kenapa ada banyak
yang membedakan aku dengan temannya yang lain.
***
Sudah
pukul 2 pagi dan semua warga kantor pun sudah terlelap dalam lautan mimpi. Aku
coba kumpulkan keberanian membuka surat itu. Beberapa surat sebelumnya, selalu
membuatnya kembali berkutat dengan kegalauannya tentang aku dan dirinya. Benar
saja, kembali tentang semua perhatian dan kepeduliannya padaku.
Dalam
heningnya suasana dini hari itu pun aku seperti terbang ke setiap kata yang
pernah ia terangkan padaku. Kata tentang hubungan kita, ketika aku terjebak
dalam rayuannya dan mengungkapkan segalanya bahkan saat aku mengetahui hubungan
Yusuf dan kekasihnya dari banyak mulut santri putri.
“Njenengan mbok ngertos, kulo gadhah
ati sing kedah dijagi. Nek mung kancanan, kulo remen sanget. Tapi nek langkung
saking niku nggeh kulo mboten saged, Zah. Kulo yakin, njenengan mesthi langkung
paham maksude kulo. Tapi nek misale njenengan abot kancanan kalih kulo, nggeh
monggo terserah Azizah mawon (kamu kan tau, aku punya
hati yang harus dijaga. Kalo hanya berteman, aku dengan senang hati. Tapi kalo
lebih dari itu aku ga bisa zah. Aku yakin, kamu lebih paham maksudku. Tapi kalo
kamu merasa berat jika kita hanya berteman, ya silakan semua terserah Azizah
aja).” Terangnya, ketika aku pernah meminta kejelasan darinya.
Mendengar
semua itu, apa lagi yang mampu ku katakan. Hanya air mata yang mampu melukiskan
segala yang kurasa kala membaca surat itu. Haruskah aku mengakui bahwa cinta
tak harus memiliki. Apa aku harus membenarkan bahwa cinta adalah tentang
pengorbanan. Atau aku harus benar-benar merelakannya memilih jalannya. Jika itu
memang pilihannya, kenapa masih harus ada sikap peduli yang ia tunjukkan padaku.
Bahkan hingga rindu yang terucap dari bibirnya di bawah sinar bulan itu.
***
Rintik
hujan bulan ini, memang terasa lebih hangat ketika bulan lalu aku telah memilih
jalanku dan membiarkan Yusuf juga memilih jalannya. Sulit memang di awal. Sama
seperti hujan ini. Berkali-kali sudah ia sakit karena jatuh. Namun, kala Tuhan
bertitah untuk turun ia tak pernah ingkar. Berbeda dengan hujan, hatiku juga
bisa merasa lelah dan akhirnya memutuskan berhenti di titik paling nyaman yang
pernah kurasa untuk berbalik arah, bersusah payah membangun kembali jembatan
yang sudah sempat aku bakar. Hingga akhirnya aku mampu kembali ke jalanku
sendiri.
“Mba
Azizah. Ditimbali Abah ken teng ndalem (dipanggil
Abah suruh ke ndalem[1]).” Suara mba Dina menyadarkanku dari lamunan yang akhir-akhir ini
aku jadikan sebagai rutinitas. Kali ini di depan wande (warung) milik Ibu nyai saat aku dapat jadwal piket untuk
jaga sore ini. Tanpa lama mengabaikan titah Abah, aku pun segera bergegas
menuju ndalem.
Sampai
di depan ndalem, aku seperti melihat sandal putra yang tidak biasanya ada di
depan ndalem. Karena hampir semua
pengurus putri hafal sandal setiap anggota keluarga ndalem, bahkan milik gus[2]
maupun ning[3]
di pesantren ini. Namun tak ada waktu untuk memikirkan itu. Sehingga aku
pun dengan berlutut dan menunduk di teras ndalem
sembari mengucapkan salam. Kemudian tanpa waktu lama, Abah pun menjawab salamku
diiringi jawaban salam dari suara lain yang tidak asing bagi telingaku. Saat
aku memasuki ndalem setelah
dipersilakan Abah pun aku mencuri-curi pandang mencari tahu siapa pemilik suara
itu dan Yusuf adalah jawabannya, sesuai ingatan memoriku.
Tanpa
basa basi, Abah pun langsung to the point
berkata:
“Dadi, Mba Azizah lan
Kang Yusuf, aku ngerti kabehan masalah koe pada. Nah, saiki aku pengen maringi
khobar nek aku ngrestuni koe pada lamaran ndisit. Mengko nek wis pada-pada siap
nembe akad (jadi mba Azizah dan Kang Yusuf, aku tau masalah kalian berdua. Nah,
sekarang aku mau memberi kabar bahwa aku merestui kalian untuk lamaran dulu.
Baru setelah kalian sama-sama siap kita tentukan akadnya.”urai Abah yang pasti
membuatku sangat terkejut dan waktu terasa berhenti berputar. Terlebih lagi,
aku tak melihat raut itu di wajah Yusuf. Ternyata ia sudah mengetahui ini,
bahkan ia yang meminta bantuan Abah untuk itu.
[1] Rumah
abah kyai di pondok pesantren
[2]
Panggilan untuk putra Abah kyai di pondok pesantren
[3]
Panggilan untuk putri Abah kyai di pondok pesantren
Sepucuk Kisah Tentang Harap
Reviewed by Unknown
on
February 23, 2018
Rating:
Jooosss
ReplyDelete