Sepucuk Kisah Tentang Harap



Ditemani terangnya bulan yang sedang berjuang menuju purnamanya, Yusuf menghampiriku di kantor putri Pondok Pesantren Nurul Hidayah yang terletak di pinggiran kota Purwokerto.

WpNature


“Assalamu’alaikum, Bu.” Salamnya yang memang mewajibkan santri putra di sini memanggil santri putri dengan sebutan ‘ibu’ dan sebaliknya, santri putri ke santri putra ‘bapak’.

“Wa’alaikumsalam, Pak. Madosi sinten nggeh pak (mau cari siapa ya, pak)?” Jawab mba Putri, salah satu pengurus putri bagian keamanan.

Mba Azizah enten (Mba Azizah ada)?” jawaban Yusuf pun berhasil membuatku jadi bahan ledekan di kantor.

Aku mendengar jawabannya pun langsung bergegas keluar menemuinya, sebelum warga kantor semakin ramai meledekku. Dan seperti biasa, ia tiba-tiba menemuiku hanya untuk memberikan es krim kesukaanku, dan jajanan lainnya. Kali ini alasannya, sebagai tanda terimakasihnya karena minggu lalu aku sudah menggantikannya masuk kelas Ibtidha (awal), kelas ngaji paling dasar di ponpes ini. Aku pun hanya menjawab ‘nggeh (ya)’ dan menerimanya sembari mengucap terimakasih. Karena terlalu gugup dan sedikit malu, aku pun bergegas masuk kembali. Namun Yusuf mencoba mencegahku. Dan saat aku reflek menoleh, ia memberiku sepucuk surat sembari dengan lirih mengungkapkan rindunya padaku. Kemudian secepat kilat ia pamit meninggalkanku yang masih mematung, mencoba mencerna apa yang baru saja ia katakan.

Melihatku kembali, warga kantor pun bergegas menghampiriku dan menyerobot apa yang kubawa. Mereka mulai meributkan tentang jajan dari siapa dan untuk apa. Hingga setelah mereka mengetahui pengirim jajanan itu, mereka semakin ribut. Bukan sekali dua kali memang, Yusuf melakukan ini. Namun, untuk ke sekian kalinya mereka kembali mengingatkanku tentang kebenaran Yusuf dan kekasihnya di luar pesantren ini. Dan untuk ke sekian kalinya pula, aku harus merasa kebahagiaanku telah melukai yang lain. Saat itu pula aku kembali bertanya tentang maksud Yusuf dan sikapnya padaku. Jawabannya pun selalu sama. Dia tak pernah mampu untuk berani lebih dari sekedar menganggapku temannya. Lalu, kenapa ada banyak yang membedakan aku dengan temannya yang lain.

***

Sudah pukul 2 pagi dan semua warga kantor pun sudah terlelap dalam lautan mimpi. Aku coba kumpulkan keberanian membuka surat itu. Beberapa surat sebelumnya, selalu membuatnya kembali berkutat dengan kegalauannya tentang aku dan dirinya. Benar saja, kembali tentang semua perhatian dan kepeduliannya padaku.

Dalam heningnya suasana dini hari itu pun aku seperti terbang ke setiap kata yang pernah ia terangkan padaku. Kata tentang hubungan kita, ketika aku terjebak dalam rayuannya dan mengungkapkan segalanya bahkan saat aku mengetahui hubungan Yusuf dan kekasihnya dari banyak mulut santri putri.

“Njenengan mbok ngertos, kulo gadhah ati sing kedah dijagi. Nek mung kancanan, kulo remen sanget. Tapi nek langkung saking niku nggeh kulo mboten saged, Zah. Kulo yakin, njenengan mesthi langkung paham maksude kulo. Tapi nek misale njenengan abot kancanan kalih kulo, nggeh monggo terserah Azizah mawon (kamu kan tau, aku punya hati yang harus dijaga. Kalo hanya berteman, aku dengan senang hati. Tapi kalo lebih dari itu aku ga bisa zah. Aku yakin, kamu lebih paham maksudku. Tapi kalo kamu merasa berat jika kita hanya berteman, ya silakan semua terserah Azizah aja).” Terangnya, ketika aku pernah meminta kejelasan darinya.

Mendengar semua itu, apa lagi yang mampu ku katakan. Hanya air mata yang mampu melukiskan segala yang kurasa kala membaca surat itu. Haruskah aku mengakui bahwa cinta tak harus memiliki. Apa aku harus membenarkan bahwa cinta adalah tentang pengorbanan. Atau aku harus benar-benar merelakannya memilih jalannya. Jika itu memang pilihannya, kenapa masih harus ada sikap peduli yang ia tunjukkan padaku. Bahkan hingga rindu yang terucap dari bibirnya di bawah sinar bulan itu.

***

Rintik hujan bulan ini, memang terasa lebih hangat ketika bulan lalu aku telah memilih jalanku dan membiarkan Yusuf juga memilih jalannya. Sulit memang di awal. Sama seperti hujan ini. Berkali-kali sudah ia sakit karena jatuh. Namun, kala Tuhan bertitah untuk turun ia tak pernah ingkar. Berbeda dengan hujan, hatiku juga bisa merasa lelah dan akhirnya memutuskan berhenti di titik paling nyaman yang pernah kurasa untuk berbalik arah, bersusah payah membangun kembali jembatan yang sudah sempat aku bakar. Hingga akhirnya aku mampu kembali ke jalanku sendiri.

“Mba Azizah. Ditimbali Abah ken teng ndalem (dipanggil Abah suruh ke ndalem[1]).” Suara mba Dina menyadarkanku dari lamunan yang akhir-akhir ini aku jadikan sebagai rutinitas. Kali ini di depan wande (warung) milik Ibu nyai saat aku dapat jadwal piket untuk jaga sore ini. Tanpa lama mengabaikan titah Abah, aku pun segera bergegas menuju ndalem.

Sampai di depan ndalem, aku seperti melihat sandal putra yang tidak biasanya ada di depan ndalem. Karena hampir semua pengurus putri hafal sandal setiap anggota keluarga ndalem, bahkan milik gus[2] maupun ning[3] di pesantren ini. Namun tak ada waktu untuk memikirkan itu. Sehingga aku pun dengan berlutut dan menunduk di teras ndalem sembari mengucapkan salam. Kemudian tanpa waktu lama, Abah pun menjawab salamku diiringi jawaban salam dari suara lain yang tidak asing bagi telingaku. Saat aku memasuki ndalem setelah dipersilakan Abah pun aku mencuri-curi pandang mencari tahu siapa pemilik suara itu dan Yusuf adalah jawabannya, sesuai ingatan memoriku.

Tanpa basa basi, Abah pun langsung to the point berkata:

“Dadi, Mba Azizah lan Kang Yusuf, aku ngerti kabehan masalah koe pada. Nah, saiki aku pengen maringi khobar nek aku ngrestuni koe pada lamaran ndisit. Mengko nek wis pada-pada siap nembe akad (jadi mba Azizah dan Kang Yusuf, aku tau masalah kalian berdua. Nah, sekarang aku mau memberi kabar bahwa aku merestui kalian untuk lamaran dulu. Baru setelah kalian sama-sama siap kita tentukan akadnya.”urai Abah yang pasti membuatku sangat terkejut dan waktu terasa berhenti berputar. Terlebih lagi, aku tak melihat raut itu di wajah Yusuf. Ternyata ia sudah mengetahui ini, bahkan ia yang meminta bantuan Abah untuk itu.


[1] Rumah abah kyai di pondok pesantren
[2] Panggilan untuk putra Abah kyai di pondok pesantren
[3] Panggilan untuk putri Abah kyai di pondok pesantren

Sepucuk Kisah Tentang Harap Sepucuk Kisah Tentang Harap Reviewed by Unknown on February 23, 2018 Rating: 5

1 comment:

Powered by Blogger.