Oleh Ani Ni’matul Khusna
by alaysiawolfisbad |
Sudah
dua hari ini, Fatimah melihat gelagat yang aneh pada anak semata wayangnya,
Fitri. Gadis kecil itu, jadi lebih sering murung, menyendiri, tertutup bahkan
seperti dihantui rasa takut. Ia pernah mencoba bertanya pada Fitri, namun
bukannya mendapat jawab Fitri malah marah dan jengkel padanya. Kekhawatirannya
semakin menjadi melihat respon putri tunggalnya itu atas tanyanya. Karenanya,
setiap malam Ia selalu menengok Fitri yang sudah terlelap untuk sekedar
mengusap lembut kepalanya dan membetulkan selimutnya.
Rutinitas
Fatimah yang bekerja di kelurahan membuatnya harus pergi pagi, pulang malam.
Pagi menyiapkan sarapan, bekal dan uang saku Fitri, kemudian berangkat.
Suaminya, ayah tiri Fitri, yang baru dinikahinya satu tahun yang lalu, hanya
bekerja sebagai buruh serabutan. Entah apa yang ada dalam benak Fatimah hingga
sudi menikahi laki-laki seperti itu. Parjo yang juga merupakan duda anak satu,
karena dicerai istrinya kala itu, tak mendapat hak asuh anak semata wayangnya
itu. Karena memang dirinya tidak memenuhi kualifikasi untuk merawat putranya
itu.
Ia
berangkat kerja jika ada panggilan saja. Itu pun tidak selalu setiap hari ada
yang membutuhkan bantuannya. Sehingga
pendapatannya pun tak menentu.Kadang memperbaiki pipa air tetangga, mencarikan
rumput untuk kambing tetangga, atau sekedar mengantar tetangga ke pasar.
Karenanya, siang pukul dua atau sepulang sekolah Fitri, ia biasanya berada di
rumah.
Tak
berhenti pada kekhawatiran Fatimah. Painem, tetangga yang berjarak tiga rumah
ke barat dari rumah Fatimah juga menaruh curiga pada gadis kecil yang baru
duduk di kelas 5 SD itu. Perangainya yang biasanya main dengan lincah bersama
putri keduanya yang juga teman sekolah Fitri, kini terlihat lebih banyak diam.
Pernah suatu hari, ia berpapasan dengan Fitri dan menyapa.
“Mau
kemana, ndu’?” sapa Painem
“Ke
warung, Bu.” Jawab Fitri singkat sambil terburu-buru, tanpa beramah tamah
seperti biasanya.
“Eh
Fit, bilangin bapakmu besok ke rumah Ibu bantu angon (menggembala) kambing.” Ujar Painem terburu-buru juga agar Fitri
yang tetap melangkah cepat mampu mendengarnya.
***
Kabar
keanehan Fitri merebak luas berkat prasangka-prasangka Painem yang
didemonstrasikan dengan ibu-ibu tetangga yang lain setiap pagi saat mereka
belanja sayuran di pak Amir. Prasangka itu pun mulai merambah ke para bapak,
termasuk Parjo. Namun, Parjo sama sekali tidak tertarik akan hal tersebut
maupun untuk menyampaikannya pada istrinya, Ibu kandung Fitri.
Awalnya,
Painem tidak pernah memiliki prasangka negatif terkait tingkah anak itu. Namun,
sejak ia melihat sebuah acara berita televisi mengenai kasus pemerkosaan gadis
di bawah umur yang sudah marak dimana-mana, ia tiba-tiba seperti terpengaruh
dan menaruh curiga serupa pada gadis mungil itu. Ia menduga Fitri telah menjadi
korban pelecehan seksual orang asing yang tak sengaja ia temui dan sebenarnya
sudah memantau dirinya selama beberapa waktu, persis seperti berita yang ia
dengar. kecurigaan tersebut, didukung oleh gerak-gerik Fitri yang juga terlihat
aneh. Ia terlihat berjalan seperti anak laki-laki yang baru saja disunat.
Seperti ada luka di bagian kemaluannya.
Demi
menjaga hubungannya dengan Fatimah, Painem pun belum berani mengutarakan
kecurigaannya pada tetangga yang hampir tiap minggu membagi jajan seperti
martabak atau bakso padanya setiap Fatimah pulang dari tugas kelurahan. Oleh
karenanya, ia tidak akan tega melihat kecemasan menghantui tetangga dekatnya
itu. Ia pun akhirnya, hanya bisa bercerita tentang hal tersebut pada Supri,
suaminya.
***
Pagi
ini, mentari seperti malu-malu menampakkan senyumnya. Awan mendung menghalangi
dirinya. Mungkin jam satu siang nanti desa Mekarsari diguyur hujan. Namun,
jumat pagi ini pula Fitri memiliki jadwal senam pagi di sekolahnya. Oleh
karenanya, sedari rumah Fitri sudah memakai seragam olahraganya. Karena Fatimah
belum berangkat ke kelurahan, ia sempatkan diri mengantar Fitri sekalian
membawa perlengkapannya agar tak perlu bolak balik ke rumah. Kala itu, Parjo si
Pemalas masih nyaman dalam balutan selimut sarung yang sudah sangat lusuh.
Baru
motor supra keluaran tahun 2000-an Fatimah melewati pekarangan rumah Painem,
Fatimah melihat ekspresi aneh di wajah Painem. Namun, ia pun tak paham apa yang
melatarbelakangi itu. Ia hanya bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin
disampaikan Painem padanya. Melihat raut wajah itu, Fitri justru terlihat lebih
paham. Ia merasa dirinya makin terkucilkan dan merasa jijik pada dirinya
sendiri. Ia pun berusaha menyembunyikan wajahnya dari Painem di balik punggung
Fatimah.
Tiba
di sekolah, Fatimah hanya berpesan agar jadi anak yang manut dan segera pulang ke rumah tanpa mampir-mampir.
”Iya
mak.” Tak banyak kata yang ia sempat
ia sampaikan pada Fatimah, bahkan dalam hitungan 1x24 jam. Mereka jadi tak
begitu dekat sejak pernikahan Fatimah dan Parjo. Apalagi, sejak awal Fitri
selalu mengungkapkan ketidaksetujuannya yang selalu ditolak oleh Fatimah.
Sehingga, Fatimah pun paham akan hal itu. Namun, ia juga tak pernah berusaha
untuk memperbaiki hubungannya. Hanya saja, kali ini dia agak lebih manis.
“Ndu,
mamak janji akan berjuang buat kebahagiaanmu.
Apapun akan mamak lakukan asal kan bisa menyaksikan kamu hidup bahagia suatu
saat nanti.” Fatimah merasa detik itu dirinya seperti dimasuki sosok malaikat
tanpa wujud yang menuntunnya berkata demikian.
***
Seperti
hari jumat biasanya, Fatimah pulang dari dinasnya lebih awal. Jam 3 sore dia
tiba di rumah dan mendapati Fitri tidak di sana, tanpa perlengkapan sekolahnya
pula. Sedang sore itu masih menyisakan hujan siang tadi sekitar jam setengah
dua. Sudah bertanya pada suaminya yang kebetulan seharian belum dapat
panggilan, pada Painem yang kebetulan lewat saat Fatimah mulai panik, bahkan
pada Mbok Sajem, tukang kredit yang biasanya keliling di kampung tersebut pada
hari jumat. Semuanya menjawab tidak mengetahuinya. Semakin gelisah saja Fatimah
mendengar jawaban mereka yang sama artinya tidak ada jawaban.
Fatimah
pun mulai berjalan cepat mengelilingi kampungnya yang memang tak begitu luas.
Tak peduli gerimis yang membasahinya, baju dinasnya sudah mulai terciprati
tanah basah tempat kelahirannya itu. Dari yang masih terhitung saudara, hingga
orang yang tak begitu ia kenal, ditanyainya. Hingga senja menyeruak menjadi bel
untuk adzan maghrib, Fatimah tak mau putus asa. Perut kosongnya dipenuhi
cacing–cacing kelaparan karena sejak pulang dari kelurahan belum sempat
diganjal apapun. Bahkan jatah makan siangnya di kelurahan pun masih utuh karena
ia berniat membaginya pada Fitri yang sampai detik ini belum ia temui.
Hampir
semua mushola atau langgar di Mekarsari mengumandangkan adzannya. Fatimah
ditemani suami dan Painem, hanya mampu mengelus dada, darahnya mulai bergejolak
seolah meminta untuk berhenti mengalir seketika jika harus menerima kenyataan
bahwa putri semata wayangnya menghilang. Ia terkulai lemas tak berdaya memikirkan
apa yang akan terjadi pada Fitri di tengah senja yang mulai surut. Semua teman
sekolah Fitri yang tinggal tak jauh dari kampung mereka pun telah disambangi
dan dimintai info terakhir mereka bersama Fitri. Namun jawaban mereka berakhir
tanpa solusi. Mereka bersama Fitri hanya setidaknya sampai bel pulang sekolah,
Fitri pulang ke rumah seorang diri. Tidak ada yang tahu kemana dulu Fitri
sepulang dari sekolah.
Melihat
kondisi Fatimah, Painem dan Parjo pun tak tega. Mereka menyarankan agar Fatimah
istirahat dahulu dan makan agar esok hari bisa melanjutkan mencari Fitri.
Kekhawatiran yang dirasa Fatimah, memang jauh lebih besar dari yang mereka
rasakan. Oleh karenanya, awalnya Fatimah tak menuruti nasehat mereka. Namun,
setelah dibujuk oleh Painem, akhirnya ia mengalah.
Belum
sampai rumah, di tengah jalan mereka bertemu Teguh, tukang reparasi perkakas
rumah tangga yang biasa keliling desa dengan pikulannya. Tak banyak
berbasa-basi, ia mengaku melihat Fitri sepulang sekolah, masih lengkap dengan
tas dan seragamnya saat ia sedang keliling sekitar jam 11, waktu biasanya Fitri
pulang sekolah di hari jumat. Teguh juga mengaku mendengar desas-desus
hilangnya Fitri dari tetangga, sehingga ia segera mencari Fatimah untuk
menyampaikan kesaksiannya. Tanpa dikomando, Fatimah pun langsung cerewet
menanyakan detail kejadian Teguh melihat Fitri kala itu. Teguh pun dengan sigap
bercerita bahwa dirinya yang sedang menuju rumah pak RT untuk mengantar kompor
yang minggu lalu diminta untuk diperbaiki. Di tengah perjalanan, tepatnya di
seberang lahan kosong milik negara yang tak jauh dari sekolah Fitri itu,
dirinya melihat Fitri masuk ke dalam seorang diri. Dipanggilnya anak mungil
itu, namun karena jarak yang agak jauh mungkin membuat Fitri tak mendengar
teriakannya. Namun, saat Teguh berniat menyusulnya, ia mengurungkannya kembali.
Karena tiba-tiba muncul pikiran bahwa Fitri hanya akan masuk kesana sebentar
mungkin untuk sekedar mencari pepaya yang sudah masak untuk dibawa pulang
kemudian akan segera keluar. Selain itu, rasa takut pada dirinya karena hutan
tersebut terkenal angker juga mungkin jadi faktor utamanya.
Selepas
mendengar cerita Teguh secara lengkap, tanpa menunggu lama Fatimah pun segera
berlari menuju hutan yang dimaksud tanpa ragu. Mitos tentang seramnya hutan itu,
ditambah suasana malam yang gelap dan tanah licin akibat guyuran hujan sejak
siang tadi tak mengurangi tekadnya untuk menemukan putri tunggalnya itu. Karena
tak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi, Parjo mengomando Teguh untuk
berkoordinasi dan meminta bantuan pejabat setempat, kemudian kembali menemani
istrinya itu. Bersama tetangga dekat dan suaminya itu, Fatimah tanpa kenal
takut sama sekali, menerobos gelapnya hutan kosong itu. Hutan milik pemerintah
itu sebenarnya tak kosong. Masih ada beberapa pohon dan tumbuhan semak. Bahkan
sebagian juga berbuah. Namun, masyarakat tetap menyebutnya kosong karena jarang
ditilik oleh pihak pemerintah maupun warga setempat sendiri.
Lolongan
Fatimah meneriakkan nama putrinya itu, menggema di seluruh hutan. Namun sudah
berpuluhan kali, tak kunjung ada jawaban. Belum sampai tengah hutan, para
pejabat RT serta beberapa hansip menyusul. Mereka membawa beberapa perlengkapan
keamanan dan senter untuk menerangi jalan. Mereka pun dibagi tim untuk
berpencar ke beberapa arah agar kemungkinan bertemu Fitri lebih besar.
Tiba
di hutan yang agak dalam, dua hansip yang dibawa pak RT mendengar suara
tangisan gadis kecil dan segera mencari sumbernya meski dengan kaki yang agak
gemetar, teringat mitos tentang hutan itu. Pada sebuah pohon besar, mereka
merasa suara tangisan tersebut makin jelas. Dan di balik pohon besar itu pun
mereka menemukan seorang gadis yang mereka yakini sebagai Fitri. Mereka pun bergegas
menggendong Fitri yang sedang dalam keadaan sangat menyedihkan masih dengan
kostum sekolahnya pagi tadi.
Melihat
putrinya dalam gendongan salah satu hansip, Fatimah langsung menghampiri dan
merebutnya serta mendekapnya dengan sangat erat. Tangis haru dan lega pecah di
tengah hutan angker itu. Semua yang menyaksikan pun tak kalah turut dalam
suasana. Fitri dalam pelukan ibunya, masih tak berkata. Ibunya hanya nyerocos menyalahkan dirinya yang lalai
dalam menjaganya, merasa dirinya gagal menjadi seorang ibu. Namun, rasa leganya
tak dapat dibohongi. Karena seacuh-acuhnya dirinya pada Fitri, ia tetap tak mau
kehilangan Fitri.
***
Sudah
jam 10 malam, barulah Fatimah dapat membawa Fitri pulang ke rumah dalam
dekapannya. Diiringi pak RT, dua hansip, Parjo dan Painem, Fatimah mencengkeram
Fitri dalam peluknya menuju rumah sederhana mereka. Fatimah kini diliputi rasa
lega yang luar biasa. Setelah berjam-jam ia berjuang, berkelana kesana kemari
mencari Fitri hingga malam mengiringi, tanah becek dan licin menemani. Dalam
hatinya, ia berjanji takkan lagi mengabaikan putri kesayangannya. Takkan pernah
ia biarkan Fitri berangkat sekolah dan pulang sekolah seorang diri. Belajar dan
mengerjakan dalam sepi. Sepi dari kasih sayang ibunya.
Sampai
di rumah, Fatimah segera memandikan Fitri, mengganti bajunya, dan memberinya
makan hingga Fitri dalam kondisi yang lebih baik. Namun, Fatimah masih heran
dengan perangai Fitri yang tetap dalam diamnya dan bertanya-tanya apa yang
mendasari ia nekad menyendiri di hutan kosong itu. Setelah melihat Fitri lebih
tenang, Fatimah pun perlahan menanyakan soal-soal yang telah berbaris rapi
dalam benaknya disaksikan para tetangga dan pak RT serta hansip tadi.
Namun,
saat Fitri mulai membuka mulut dan bercerita, Fatimah merasa ada halilintar
menyambangi dirinya. Jantungnya seperti hampir berhenti. Dadanya seolah
berhenti kembang kempis. Nafasnya sesak tak terkira. Jarum jam di ruang tamu
seakan berhenti berputar. Ia merasa ada sebuah benda tajam menusuk dirinya
berkali-kali di dadanya. Namun, dirinya tak kunjung berhenti bernafas. Hidup
segan, mati tak mau. Peribahasa itu mungkin bisa menggambarkan.
Fitri
memberikan sebuah pengakuan bahwa dirinya telah mengalami pelecehan seksual
dari Parjo, ayah tirinya yang hidup bersamanya belum genap satu tahun.
Terhitung lima kali, Parjo memaksakan nafsu bejadnya pada gadis kecil mungil
dan polos itu. Biasanya, sepulang Fitri dari sekolah Parjo beraksi. Bahkan
pernah Parjo sengaja menjemput Fitri karena Fitri sempat mampir ke rumah teman
dulu sepulang sekolah, agar ia tidak kehilangan barang pemuas nafsunya itu.
Sudah
seminggu ini, Fitri merasa sangat gelisah dan tidak nyaman hidup di rumahnya.
Parjo pernah mengatakan bahwa dirinya tak kunjung mendapat ‘jatah’nya dari
Fatimah yang dinikahinya hampir satu tahun itu, sebelum mengambil keperawanan
Fitri. Langkah kaki Fitri yang terlihat aneh di mata Painem, salah satu akibat
dari sebuah tubuh yang mendapat perlakuan yang tak sesuai waktunya. Fitri
merasa masa kanak-kanaknya telah direnggut oleh ayah tirinya. Kini hidupnya
telah gelap. Hingga ia memutuskan untuk tak pulang ke rumah karena takut dengan
hal yang biasa dilakukan Parjo seminggu terakhir itu. Fatimah tak henti membuat
anak sungai yang begitu deras di pipinya mendengar penjelasan putri tunggal
kesayangannya tersebut. Rasa lega yang dirasakannya sekitar lima belas menit
yang lalu musnah dalam sekejap.
***
Tangis Gadis Kecil dalam Gelap
Reviewed by Unknown
on
February 23, 2018
Rating:
No comments: